KOMENTAR : Komentar positif sebagai apresiasi dan etika berkomunikasi


 source : google.com



Lagi-lagi aku disibukkan dengan aktifitas meng-scroll up timeline social media. Membaca artikel, tulisan, bahkan status di media sosial sudah menjadi “kebiasaan baru”, khususnya bagi para kawula muda, termasuk aku. Tak heran jika topik yang dominan muncul di timeline adalah mengenai life-style kekinian, cinta, resep makanan, K-POP, drama Korea, OOTD,  ideologi, renungan religi, kesehatan, bahkan sampai isu-isu politik pun selalu meramaikan timeline disemua media sosial yang aku punya.

Dimana ada “status” disitu ada “komentar”.
Berbicara mengenai “komentar”, setiap media sosial memiliki kolom komentar, seperti LINE, Instagram, Facebook, Blog, dan situs lainnya. Kehidupan memang tak pernah luput dari komentar, mudah saja contohnya. Ketika kamu akan pergi ke suatu tempat, kamu mengenakan pakaian, pasti ada saja komentar mengenai tampilanmu, biasanya kalau para wanita komentarnya :  “waahh, bagus bajunya beli dimana?”, “kamu kelihatan bagus pakai baju ini!”, “ihh, bajunya gak matching sama bawahannyaa”. Ya, itu badalah contoh “komentar” yang sering dijumpai oleh para wanita. 

Begitupun dengan status, rata-rata tulisan (status) yang muncul di timeline media sosial LINE saya adalah tulisan yang di-share ulang oleh teman saya, atau tulisan yang di-like oleh teman saya di LINE. Saya selalu penasaran dengan posting yang like dan comment-nya bisa ratusan hingga ribuan., hal ini yang membuat rasa ingin tahu saya muncul dan membuat saya sering membaca posting tersebut, salah satunya tulisan yang juga disertai video salah satu magician asal Indonesia yang berkesempatan tampil di sebuah acara pencarian bakat ternama di Amerika. Sungguh luar biasa, magician itupun banjir pujian! Ada yang mengapresiasi penuh perjuangan sang magician, ada yang mendukung sang magician untuk mengharumkan nama Indonesia, namun tak sedikit pula menemukan komentar yang terkesan kurang enak untuk dibaca, dengan kata lain “tidak ada apresiasi tapi membuat kontroversi”.

Saya menyebutnya “rantai komentar”, dimana satu komentar akan berhubungan dengan komentar sebelumnya atau sesudahnya. Simple-nya seperti ini komentar yang sudah ada itu bagaikan “stimulus”, yang bisa memicu “pembaca baru” untuk menanggapinya. Contohnya : Si A komentar “blbalablablabla”, lalu si B kurang setuju lalu ditanggapi lagi “bilibilibili”, lalu datanglah C (si pembaca status yang baru) menanggapi si A dan B “blabliblblaa”… Entah sampai kapan rantai komentar itu berhenti. Fenomena seperti ini terkesan seperti “adu argumen”. 

Terkadang saya juga heran, nyatanya tak sedikit orang yang bertikai via komentar di media sosial. Namanya juga argumen, antara si A dan si B, pasti memiliki perspektif yang berbeda. Bagaimana tidak, setiap individu itu memiliki latar belakang keluarga,  pendidikan, dan pengalaman yang berbeda. Tentu, faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi seseorang memiliki perbedaan dalam sebuah pemikiran. Oleh sebab itu, pokok yang ingin saya sampaikan adalah :

“Berhati-hatilah dalam berucap”, bukan hanya ucapan lisan saja, namun juga ucapan yang tertulis (tulisan/komentar/dll.). Berkomentar juga memiliki etika, sama seperti berkomunikasi. Jangan sampai apa yang kita tulis, apa yang kita komentari malah membuat pertikaian (rantai komentar), malah membuat down (putus asa) orang yang dikomentari, atau malah mencemarkan nama baik seseorang.
Jikalau ada yang tidak Anda sukai dari sebuah tulisan (karya), sebaiknya sampaikanlah dengan bahasa yang “asertif”, yaitu bahasa yang santun, tidak menyinggung perasaan orang lain, namun “pesan” yang ingin disampaikan itu tersampaikan. Sehingga, orang yang dituju pun mendapatkan “poin” apa yang seharusnya menjadi feedback untuknya.
Mengutip dari www.follyakbar.id mengenai komunikasi yang efektif. Terdapat enam etika komunikasi efektif dalam al-Qur’an. Apa saja itu? Mari kita simak di bawah ini :


1.)   Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur)
2.)   Qaulan Baligha (tepat sasaran, to the point, mudah dimengerti)
3.)   Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik)
4.)   Qaulan Karima (perkataan yang mulia)
5.)   Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut)
6.)   Qaulan Maysura (perkataan yang ringan)
 


Lagi-lagi tujuan saya menulis tulisan ini, bukanlah untuk membuat sebuah kontroversi. Tetapi ingin bersama-sama memperbaiki komunikasi. Berkomentarlah yang positif dengan bahasa yang asertif. Karena komentar bukan untuk menggurui seseorang, tetapi untuk menjadikan individu tersebut lebih baik lagi dari sebelumnya (evaluation).  

 
“Jadikan komentarmu sebagai sarana seseorang untuk mengevaluasi diri, bukan sekadar menggurui” fayna faradiena

#Day12 #RamadhanInspiratif #Aksara
#30HariMenulis #Challenge
Ciputat,  15 Juni 2017
Dina
Fayna Faradiena

Comments

Post a Comment