Menjadi Pengajar Banten (Part II)
Beginilah kondisi ruang kelas 3 dan 4 SD, kami
belajar dengan sistem yang cukup unik. Pertama aku harus mengajar dengan materi
kelas 3 SD, setelah memberikan materi aku langsung berpindah ke materi kelas 4
SD. Para siswa tidak mendapatkan buku ajar, sehingga mereka harus mencatat
semua yang dipaparkan di depan kelas. Sungguh, aku sedikit deg-degan, karena ini adalah kali pertamaku menjadi pendidik,
tidak hanya pengajar. Aku punya tanggung jawab yang besar, karena aku turut
andil dalam “akan jadi apa anak itu kelak?”. Di dalam kelas, aku mencoba
menerapkan pembelajaran dengan metode yang berbeda dari biasanya. Kami
membentuk meja seperti keadaan diskusi, sehingga tidak ada yang duduk paling
depan ataupun paling belakang, semuanya sejajar. Hal ini bertujuan agar
anak-anak mendapatkan perhatian yang sama rata. Untuk memantu anak-anak
memahami materi, serigkali aku buatkan quiz, dimana setiap jawaban benar akan
mendapatkan satu bintang. Mereka sangat antusias sekali dengan metode seperti
ini. Character building juga selalu
aku selipkan dalam setiap materi yang aku sampaikan.
Kegiatanku tak berhenti di dalam ruang kelas
saja, aku juga harus aktif dalam berinteraksi dengan warga sekitar. Di sore
hari setelah mengajar, seringkali aku bersama anak-anak mengadakan home visit, yaitu berkunjung ke rumah
warga dan bersilaturahim. Aku sangat senang dengan suasana di desa ini.
Masyarakat disini sangat ramah dan begitu antusias dengan kedatanganku, mereka
sangat ringan tangan, dan ramah senyum. Suasana seperti ini sudah jarang aku
temukan di tengah Ibukota.
Selain home visit, aku bersama anak-anak juga
menjelajahi tempat-tempat yang sering dijadikan anak-anak sebagai tempat
bermain, seperti sawah, curug (air
terjun), sungai, dan mata air di tengah hutan. Anak-anak selalu memegang
tanganku dengan erat setiap kali kami pergi bersama, aku merasakan tulusnya
kasih sayang mereka padaku, aku juga sangat mencintai mereka, anak-anak
Sinarjaya.
Mereka selalu menjagaku, selalu perhatian
kepadaku. “Kakak, kakak udah disini aja,
nanti kakak capek” ujar Mutia, siswi kelas 3 SD. Aku teharus mendengarnya, “Mutia, kakak gak akan capek, kakak malah
senang disini, yuk kita pergi lagi” balasku. Pada saat itu kami sedang
mengambil air di sumber mata air. Walaupun mereka masih belia, jangan ragukan
hati dan pengorbanan mereka, mereka adalah anak-anak yang berjiwa besar,
anak-anak yang juga memiliki masa depan. Entahlah kalimat apa yang harus aku
tuliskan, tapi aku sangat mencintai mereka.
Masakan sederhana nan
lezat!
Tidak seperti di perkotaan, di desa sangatlah
sederhana. Disini tak ada makanan cepat saji, yang ada kita harus memasak jika
ingin makan. Makanan disini pun justru lebih sehat dibandingkan makanan yang
ada di perkotaan, semuanya masih segar, berasal dari sumbernya langsung.
Masyarakat disini sangatlah kaya, ketika kita di kota memiliki restaurant, justru mereka memiliki ladang.
Lalu apa yang mau kita banggakan sebagai masyarakat kota? Nampaknya sederhana,
tapi masakan Ibu Heni sangatlah enak disantap, aku pun sampai menambah dua kali
pada saat sangat lapar. Ikan asin dan sambal menjadi makanan favoritku selama
disana. Ditambah lagi Ibu Heni mempersiapkan semuanya dengan tulusnya, tak
jarang pula aku ikut Ibu Heni mempersiapkan hidangan, sembari aku belajar
memasak. (bersambung…..)
#Day23 #RamadhanInspiratif
#30HariMenulis
#Challenge #Aksara
Fayna Faradiena
Comments
Post a Comment